Di kaki Gunung Merapi, tersembunyi di antara hijaunya ladang-ladang yang subur, berdirilah sebuah kampung kecil bernama Kampung Selo. Kampung itu terkenal bukan karena pemandangan alamnya yang menakjubkan, tetapi karena sebuah masjid besar yang berdiri megah dengan kubah emasnya yang berkilauan di bawah terik matahari. Masjid itu adalah kebanggaan warga kampung, sebuah tanda keberkahan dan kedermawanan seorang tokoh penting di sana—Sastro Aleng.
Sastro Aleng adalah seorang pengusaha sukses, kaya raya, dan berpengaruh di daerah itu. Wajahnya selalu tampak ramah, dengan senyum yang jarang pudar dari bibirnya. Tidak hanya di Kampung Selo, tapi di banyak tempat, ia dikenal sebagai sosok dermawan yang rajin membangun masjid. Setidaknya, sudah ada lima masjid yang ia bangun dalam sepuluh tahun terakhir, termasuk masjid besar dengan kubah emas di Kampung Selo.
Meski begitu, ada cerita lain yang beredar secara sembunyi-sembunyi di balik sosok Sastro Aleng yang dihormati. Bisikan-bisikan di warung kopi dan obrolan diam-diam di pasar mengatakan bahwa kekayaan Sastro Aleng bukan hanya hasil dari kerja keras dan kedermawanannya, melainkan juga dari hasil korupsi yang selama ini ia lakukan. Namun, tidak ada satu pun bukti yang bisa menjeratnya. Setiap kali ada isu yang muncul, Sastro Aleng akan menyumbangkan sejumlah besar uangnya untuk pembangunan masjid atau kegiatan sosial lainnya, dan isu itu perlahan-lahan lenyap seiring dengan berdirinya menara-menara masjid yang baru.
Suatu hari, Sastro Aleng duduk di serambi rumahnya yang besar, memandangi pemandangan Gunung Merapi di kejauhan. Di depannya, segelas teh panas mengepul, namun pikirannya melayang jauh.
“Pak, saya dengar ada proyek pembangunan masjid baru lagi di desa sebelah,” ujar Bu Siti, istrinya, yang tiba-tiba muncul dari dalam rumah. Suaranya lembut, penuh rasa hormat.
Sastro Aleng tersenyum. “Iya, Bu. Saya sudah niatkan untuk membangunnya. Kita harus terus berbuat baik, apalagi untuk masjid. Setiap rupiah yang kita keluarkan untuk masjid akan menjadi pahala yang terus mengalir, bahkan setelah kita meninggal nanti.”
Bu Siti mengangguk setuju. Ia tahu betul bagaimana suaminya sangat mencintai masjid. Meski begitu, terkadang ia merasa ada sesuatu yang mengganjal di hatinya, sesuatu yang ia tak mampu ungkapkan dengan kata-kata.
“Apakah… ini juga untuk menebus dosa, Pak?” tanya Bu Siti tiba-tiba, dengan suara yang sedikit bergetar.
Sastro Aleng menatap istrinya dengan tajam. “Kenapa Ibu berkata begitu? Apa yang Ibu maksud?”
Bu Siti menghela napas panjang, menundukkan kepalanya. “Saya hanya khawatir, Pak. Jangan-jangan ini semua bukan hanya karena kebaikan hati, tapi karena rasa takut akan hukuman yang mungkin datang.”
Sastro Aleng tersenyum tipis, mencoba menenangkan istrinya. “Ibu, kita harus percaya pada rahmat Tuhan. Selama kita terus berbuat baik, Tuhan pasti melindungi kita. Dan ingat, Tuhan tidak pernah tidur. Dia melihat apa yang kita lakukan.”
Namun, meski dengan keyakinan yang kuat, dalam hati kecilnya, Sastro Aleng tidak bisa menepis ketakutan yang terus menghantui. Setiap kali ia mendengar berita tentang penangkapan koruptor atau penyelidikan baru, jantungnya berdegup kencang. Ia takut, suatu hari nanti, namanya akan muncul dalam daftar mereka yang diperiksa.
Namun, ia selalu merasa bahwa Tuhan melindunginya karena kecintaannya pada masjid. Setiap kali ia melihat kubah emas masjid yang ia bangun, hatinya tenang. Doa-doanya yang dipanjatkan di dalam masjid itu selalu ia yakini sebagai tameng yang melindunginya dari segala mara bahaya.
Beberapa bulan kemudian, sebuah berita mengejutkan datang dari kota. Salah satu rekan bisnis Sastro Aleng tertangkap dalam operasi tangkap tangan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Berita itu mengguncang seluruh daerah, termasuk Kampung Selo. Bisik-bisik mulai kembali terdengar, mengarah pada Sastro Aleng. Banyak yang bertanya-tanya, apakah giliran Sastro Aleng yang akan jatuh?
Namun, di tengah kegelisahan yang melanda, Sastro Aleng tetap tenang. Ia percaya, selama ia terus membangun masjid dan berbuat kebaikan, Tuhan akan melindunginya. Ia pun memutuskan untuk segera memulai pembangunan masjid baru, kali ini di desa tetangga yang lebih terpencil.
Pada hari peletakan batu pertama, Sastro Aleng berdiri di depan warga desa dengan senyum lebar. Ia memulai pidatonya dengan penuh semangat, berbicara tentang pentingnya masjid sebagai tempat ibadah dan pusat kegiatan masyarakat. Warga desa terpukau oleh kebaikan hati Sastro Aleng, dan mereka mendoakannya agar selalu diberi kesehatan dan keselamatan.
Namun, di tengah acara tersebut, tiba-tiba suara sirene terdengar dari kejauhan. Semua mata tertuju pada iring-iringan mobil hitam yang datang mendekat. Dari mobil-mobil itu, beberapa petugas berseragam turun dan berjalan menuju Sastro Aleng.
“Hari ini, kami harus membawa Sastro Aleng untuk diperiksa atas dugaan korupsi yang melibatkan proyek-proyek pemerintah,” ujar salah satu petugas dengan tegas.
Keramaian seketika berubah menjadi keheningan yang mencekam. Wajah Sastro Aleng pucat, tubuhnya gemetar. Ia tidak pernah membayangkan hari ini akan datang. Namun, dengan segenap kekuatan, ia berusaha tetap tenang.
“Pak… apakah benar ini?” tanya salah seorang warga desa, suaranya bergetar.
Sastro Aleng menelan ludah, mencoba mencari kata-kata yang tepat. “Saya… saya tidak tahu, ini mungkin hanya kesalahpahaman. Saya tidak pernah mengambil yang bukan hak saya. Saya… saya membangun masjid ini untuk kita semua, untuk kebaikan kita bersama.”
Namun, kata-katanya terdengar hampa, bahkan bagi dirinya sendiri. Saat petugas mengikatkan borgol di pergelangan tangannya, ia merasakan dunia seakan runtuh. Ketakutan yang selama ini menghantui akhirnya menjadi kenyataan.
Saat ia dibawa pergi, mata Sastro Aleng tertuju pada masjid dengan kubah emas yang masih setengah jadi. Di dalam hatinya, ia berdoa, memohon ampunan dari Tuhan. Ia berharap bahwa semua masjid yang ia bangun akan menjadi penolongnya, menjadi alasan Tuhan untuk mengampuni segala dosa-dosanya.
Namun, di tengah doanya, sebuah pertanyaan mengganggu pikirannya: Apakah Tuhan akan memaafkan dosa-dosanya hanya karena ia membangun masjid? Atau, apakah semua ini hanyalah upaya sia-sia untuk menutupi kesalahannya?
Beberapa tahun kemudian, masjid itu akhirnya selesai dibangun, namun tanpa kehadiran Sastro Aleng. Masjid itu berdiri megah, menjadi simbol kedermawanannya, namun juga menjadi saksi bisu dari kisah seorang koruptor yang mencoba membeli surga dengan uang haram. Di setiap sudut masjid, doa-doa terus dipanjatkan, namun bayang-bayang Sastro Aleng tetap melekat di hati warga desa.
Apakah Tuhan menerima doa-doa yang dilantunkan di masjid yang dibangun dari uang yang tidak halal? Pertanyaan itu tetap menggantung di udara, tak pernah terjawab, seperti doa-doa Sastro Aleng yang tertinggal di balik kubah emas yang berkilauan di bawah langit biru. (Created by AI)
1 Komentar