TAMAN BUDAYA MINANGKABAU

 

Oleh Fadlillah

 

Kebudayaan bagi orang Minangkabau merupakan suatu hal yang  terintegritas pada diri manusia Minangkabau. Sehingga keberadaan seorang manusia selalu ditakar dengan budaya atau kebudayaan. Di Minangkabau seseorang dipertanyakan keberadaannya sebagai manusia dengan kalimat, “lai beradat berbudaya”, “orang tak beradat berbudaya”. Ketika seseorang tidak beradat budaya maka sesungguhnya diragukan kemanusiaannya, sebagai manusia; “lai urang nyo”. Oleh sebab itu kebudayaan atau adat sublim dengan diri manusia, menyatu dengan diri, ketika dia tidak berbudaya atau tidak beradat/b maka sesungguhnya dia tidak didefenisikan sebagai manusia atau orang, “lai urang nyo”. Inilah dasarnya,  hal yang prinsipil bagi manusia Minang adalah adat dan budaya, yang akan, menyatakan dia adalah orang atau tidak. Inilah alasan mengapa manusia Minang disebut sebagai  orang berbudaya atau bangsa berbudaya; “lai bataratik”.

 

Kebudayaan atau budaya dalam pandangan orang Minang bukanlah kesenian dan artefak akan tetapi seluruh aktivitas dan perilaku manusia. Hanya orang Minang yang sudah berbudaya modern yang berpandangan  bahwa yang disebut kebudayaan hanyalah kesenian, tari, seni rupa, sastra, teater dll. dan artefak. Namun memang kebanyakan generasi Minang dalam dekade terakhir ini lebih banyak yang berpandangan modern sehingga berkebudayaan hanyalah berkesenian dan barang peninggalan masa lalu atau museum. Di sinilah terputusnya atau terjadi diskontinu nalar berkebudayaan Minang dengan dunia modern.

 

Dalam pandangan orang Minang kebudayaan tidak terkungkung dalam suatu bangunan yang bernama taman budaya. Bila pun akan disebut sebagai taman, maka taman budaya orang Minang  adalah alam yang luas, yang terkenal dengan adagiumnya alam terkembang jadi guru, karena seluruh aspek kehidupan adalah kebudayaan bagi orang Minang. Di dunia orang Minang, orang Minang berprinsip bahwa kebudayaan tidak terpusat pada satu bangunan, namun porosnya memang ada, sebagai alas bakul atau dasar paradigma, basis tempat berpijak, yakni surau, yang tertera dalam adagium, adat bersandi syarak, syarak bersandi Kitabullah.

 

Bukan tidak mungkin, inilah yang menyebabkan kebudayaan Minang lebih menyambung dengan postmodern daripada modernitas. Dalam pandangan postmodern, kebudayaan tidak lagi terpusat pada satu bangunan yang bernama taman budaya atau institusi yang bernama dewan kesenian atau dewan kebudayaan, sebaliknya kebudayaan menyebar di mana saja. Kebudayaan tidak dihidupi oleh satu pihak, yang bernama pemerintah, kebudayaan dihidupi oleh semua pihak (komunal). Di dunia postmodern, orang-orang membaca puisi, acara selamatan penerbitan puisi atau sastra, diskusi budaya, musik dll., di lakukan di kafe-kafe, sementara orang Minang secara tradisi sudah terbiasa dengan apa yang disebut lapau, berpantun, berdiskusi, bersaluang dll. Oleh sebab itu tradisi kafe yang ada pada masa postmodern ini bukanlah sesuatu yang baru bagi orang Minang. Sementara sikap pandang berkesenian dan budaya harus di taman budaya, dengan institusi dewan kesenian atau dewan budaya adalah tradisi dunia modern yang mulai ditinggalkan orang-orang postmodern.

 

Barangkali inilah alasan atau latar belakang mengapa orang Minang modern tidak menghadirkan Taman Budaya Minangkabau, tetapi Taman Budaya Sumatra Barat dan Dewan Kesenian Sumatra Barat bukan dewan Kesenian Minangkabau, karena konsep dasar, tempat berpijak atau alas bakulnya adalah modernitas, bukan budaya Minangkabau, adapun budaya Minang di sana sebagai aksesoris atau objek bukan subjek, yakni Minang dilihat sebagai masa lalu (cf; polemik kebudayaan St. Takdir) dalam kaca mata atau sudut pandang modernitas (barat). Kebudayaan yang terpusat dalam visi misi pemerintahan Indonesia modern, pertunjukan randai, saluang, dll. bukan lagi di gelanggang tapi di gedung, penonton atau orang duduk di kursi empuk, berpakaian rapi. Seni tradisi dalam format modernitas, randai jadi teater,  saluang dan musik tradisi jadi orkestra, pantun dan syair jadi puisi yang dibacakan di panggung atau gedung teater. Semua dengan sistim honor, digaji, dan dibiayai oleh pemerintah bukan oleh swadaya Masyarakat.

 

Dengan adanya gedung, taman budaya dan satu institusi dewan kebudayaan, sesungguhnya membuat kebudayaan secara politik akan mudah dikendalikan karena sudah terpusat. Kebudayaan akan  mudah diformat, dikendalikan dalam satu kekuasaan kebijakan. Dalam pengertian kekuasaan kebudayaan  pada hakikatnya  bukan berada di tangan masyarakat  bangsa Minangkabau. Politik kebudayaan dunia modern adalah pengendalian kebudayaan secara terpusat dan direpresentasikan dengan adanya Taman Budaya, Dewan Kesenian. Hal ini tidak ada bedanya dengan sistem kolonial, maka kegiatan kebudayaan yang berada di luar semua itu merupakan kebudayaan “liar” dan tidak mendapat pengakuan. Dengan pengertian kasarnya kebudayaan yang luas itu dibonsai, dikendalikan, diformat jadi kecil, hanya seputar kesenian, sastra, teater, dll., dan artefak masa lalu. Kebudayaan tidak dibenarkan menjadi energi utama suatu bangsa dan selalu diawasi geraknya dalam satu format. Inilah politik kebudayaan.

 

Ada pertanyaan, mengapa tidak dinamakan Taman Budaya Minangkabau, atau Dewan Kesenian Minangkabau, tetapi Taman Budaya Sumatra Barat dan Dewan Kesenian Sumatra Barat, Penamaan itu adalah politik kebudayaan untuk membonsai dan memadamkan api kebudayaan Minangkabau supaya tidak tumbuh, dan  di desain  supaya lama-kelamaan kebudayaan Minangkabau akan mati. Agaknya inilah alasan mengapa tidak dinamakan Taman Budaya Minangkabau dan Dewan Kesenian Minangkabau. Mentawai sengaja dimasukkan teritorial wilayah Sumatra Barat (cf politik penamaan Sumatra Westkust) adalah untuk alasan/berkilah/argumen penghalang mengatakan bahwa Sumatra Barat bukan Minangkabau saja.

 

Taman Budaya dan Dewan Kesenian adalah politik kebudayaan, desain politik dibuat oleh penguasa untuk mengendalikan/hegemoni kaum intelektual (seniman/budayawan).  Hal itu tumbuh dengan baik, para seniman dan budayawan (kaum intelektual) dihegemoni dengan baik, sudah berlangsung sejak Orde Baru sampai sekarang, pada hakikatnya seniman dan budayawan serta kebudayaan Minangkabau hanya sebagai tamu atau objek di sana, karena visi dan misinya harus sesuai dengan kebijakan penguasa, karena itu sejarah SK pendiriannya dari Pangkopkamtib (cf. Orde Baru) dan gubernur.

 

Saat hegemoni politik kebudayaan itu nyaris berhasil dengan baik, (terbukti para seniman dan budayawan  sebagai intelektual [tidak semua] tidak menyukai dan “menghantam” Minangkabau kuno dan masa lalu, dan lebih bersemangat dengan brand Sumatra Barat yang nota bene brand kolonial – Sumatra Weskust, itulah menjadi Indonesia menurut mereka,; cf; St. Takdir),  zaman berubah, dari modern jadi postmodern. Taman Budaya mulai mangkrak “ditinggalkan” (jika tidak dipedulikan) baik oleh pemerintah maupun oleh seniman dan budayawan, dan Dewan Kesenian “mulai punah”. Namun stigma dan paradigma hegemoni yang secara mentalitas terbentuk [tidak semua] tetap menyuarakan untuk membangunnya kembali, antara lain dengan adanya polemik pembangunan gedung dan institusi serta membuat undang-undang perda {sebagai kontrol dan kendali) bahwa kebudayaan tetap di tangan atau dikendalikan oleh penguasa, jika tidak dikatakan pada hakikatnya milik penguasa.

 

Terlepas dari semua itu, kebudayaan Minangkabau pada masyarakat, seperti kata A.A. Navis,  “yang berjalan sepanjang jalan”, walaupun sudah berkali-kali jalan “diasak”, dialih, diubah oleh “orang lalu” dan terjadinya aia gadang (air besar, air bah [cf; politik kebudayaan]) yang merubah semua jalan (budaya). Kendati akan disebut juga ada taman budaya orang Minangkabau maka itulah alam terkembang.  Seandainya akan ada juga tempat (taman budaya, gedung, gelanggang, dll.) institusi (semacam lembaga) maka hal itu bagi orang Minang harus independent (terlepas dari pemerintah), karena pada hakikatnya sikap politik kebudayaan orang Minang adalah merdeka, egaliter, religiusitas. Hal ini sangatlah relevan dengan masa postmodern ini. Adapun paradigama kebudayaan seperti ini ditolak oleh orang Minang modern. Wallahu a’lam bissawab. (Fadlillah, dosen FIB Universitas Andalas).***

Surau Sastra Hamka, 13062025.-

*) Tulisan TAMAN BUDAYA MINANGKABAU ini sudah dimuat di harian Padang Ekspres, edisi Senin, edisi cetak, SENIN 16 JUNI 2025 20 DZULHIJAH 1446 H

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *