SEMUA SASTRA ADALAH RELIGIUS

Oleh Fadlillah

 

 

Sesungguhnya seluruh sastra itu religius, dari awal sampai akhir. Memisahkan sastra dengan religiusitas, sesungguhnya mustahil. mengingkari kodrat sastra itu sendiri,  karena sastra tanpa religius pun sesungguhnya religius juga. Religius bukan aspek-aspek tetapi seluruh bagian dan setiap unsur dalam sastra adalah religius. tidak ada sesuatu pun unsur dalam sastra dapat lepas dari religiusitas.(Dr.Fadlillah).

 

 

 

Dunia sastra, pada umumnya, terutama dunia sastra barat, memisahkan dengan tegas antara sastra dengan religiusitas. Jika pun ada persoalan religiusitas dalam sastra maka hal itu disebut dengan aspek-aspek religiusitas dalam sastra. Dengan demikian, religiusitas hanya merupakan bahagian kecil dari sastra. Begitu juga bila ada penelitian sastra dari para peneliti sastra maka juga disebut hanya sebagai aspek-aspek religiusitas. Dengan pengertian, yang dikukuhkan dalam dunia sastra modern adalah bahwa dunia sastra itu lebih luas dan lebih besar daripada  religiusitas, inilah yang disebut sastra universal.

Pemisahan sastra dengan religiusitas adalah salah satu tonggak, bahkan salah satu hal yang mendasar dari kehadiran sastra modern. Sastra harus bebas dan netral, inilah hakikat sastra liberal atau sastra universal. Sesungguhnya hal ini tidak hanya sastra, tetapi juga sains modern (positivisme) atau apa yang disebut dengan metode ilmiah. Bahkan, apa yang disebut dengan dunia modern adalah dunia kemajuan atau dunia moderat terpisah dari religiusitas. Memisahkan kehidupan dengan religiusitas, memisahkan dunia profan dengan sakral. Inilah salah satu gerbang dunia renaisans, zaman pencerahan (enlightenment) Eropa.

Karakteristik dunia modern meliputi rasionalitas, empiris, metode ilmiah, kenegaraan, teknologi, industri, demokrasi dan HAM. Semua karakteristik itu muncul sebagai dunia modern dengan adanya titik pisahnya terhadap religiusitas.  Adapun religiusitas hanya persoalan pribadi atau individual, hanya jadi ruang privasi, bukan sumber kebenaran. Dengan demikian dunia modern merupakan dunia antroposentrisme. Begitu jugalah sastra modern, hakikat dasarnya adalah terpisah dengan religiusitas, apakah total atau tidak yang jelas terpisah.

Aspek ciri khas dunia modern adalah kehidupan bersifat individual, progres (kemajuan), emansipasi, dan semua terpisah dan melepaskan diri dari religiusitas. Fenomena ini dimulai di Italia dan menyebar ke Eropa, dengan kiblat pengetahuan Yunani dan Romawi, fokus pada manusia sebagai pusat (humanisme). Inilah dasar atau latar belakang dari sastra modern, dengan humanisme universal atau liberal, di seluruh dunia, yang terpisah dengan religiusitas. Jika pun ada persoalan religiusitas dalam sastra maka hal itu  hanya merupakan salah satu aspek kecil dari dunia sastra modern. Hal inilah yang sering menjadi polemik dan perdebatan yang tidak selesai.

Tonggak sastra modern Indonesia, adalah dengan lahirnya sastra yang memberontak dan memisahkan diri dengan tradisi, adat dan religiusitas, sebagai ciri khas lahirnya Angkatan Pujangga Baru dan Angkatan 45. Meski sastra dengan tema religiusitas masih banyak, namun sudah bersifat modernitas, sementara sastra arus utama dengan terpusat dalam model modernisasi di tengah polemik dan perlahan tersisihnya sastra tradisi, sastra lama dan sastra religius. Lahirnya bangsa dan negara Indonesia sebagai negara modern, begitu jugalah sastranya, yakni dengan branding; sastra Indonesia adalah sastra modern.

Sesungguhnya pemisahan diri dari sastra tradisi, sastra lama, atau sastra religius tidaklah mudah dan tidak dapat dilakukan sepenuhnya oleh sastra Indonesia modern. Hal itu disebabkan nilai-nilai tradisi, adat budaya lama, serta religiusitas masih begitu sangat dominan dalam kehidupan masyarakat dan kebudayaan Indonesia. Meskipun perdebatan dalam polemik kebudayaan dimenangkan dengan pemikiran modernitas Sutan Takdir Alisjahbana dkk. Kemudian pada tahun 70-an para sastrawan mencoba untuk menawarkan kembali, untuk kembali ke akar tradisi (oleh Abdul Hadi W.M. dkk.,) namun arus utama sastra modern tetap tidak bergeming dengan Ayu Utami, Djenar Maesa Ayu, Goenawan Mohamad, Komunitas Salihara.

Hubungan sastra modern Indonesia dengan religiusitas, nilai tradisi, budaya lama, polanya tidak begitu berubah sebagaimana sejak awal lahirnya sastra modern Indonesia. Suatu pola yang meletakan budaya tradisi, budaya lama, dan religius sebagai objek yang menghalangi modernitas. Seperti pada Perempuan Berkalung Sorban, Saman, Menyusu Ayah.  Dll. Ada juga yang sebaliknya terjadi, seperti Ayat-ayat Cinta dkk., hal ini pada satu sisi merupakan suatu bentuk kebangkitan baru gelombang sastra religius.

Dengan latar belakang itulah Y.B. Mangunwijaya mengatakan pada awalnya seluruh karya sastra adalah religius, dengan pengertian, dengan hadirnya sastra modern maka sastra tidak lagi religius. Bagaimanapun arus utama sastra modern tetap melepaskan diri dari religiusitas. Namun hal Ini mengalami benturan yang cukup kuat dengan kehadiran  postmodern.  Dengan hadirnya postmodernisme,  sebaliknya sangat memungkinkan dan memberi peluang banyak untuk meredefinisi sastra religiusitas.

Antara lain sesungguhnya seluruh sastra itu religius, tidak pada mula saja, sastra itu religius dari awal sampai akhir. Tindakan memisahkan sastra dengan religiusitas, sebagaimana yang dilakukan dunia modern, sesungguhnya mustahil dan tidak pernah dapat berhasil. Hal itu dikarenakan mengingkari kodrat sastra itu sendiri,  karena sastra tanpa religius atau memisahkan diri dari religius, pun sesungguhnya suatu religius juga. Religius bukan persoalan aspek-aspek dalam sastra saja tetapi seluruh bagian dan unsur dalam sastra adalah religius. Adapun sesuatu yang sering dikatakan bukan religius maka dalam redefinisi ini adalah religius juga, karena sesungguhnya tidak ada sesuatu pun  unsur yang dapat lepas dari religiusitas. Pemikiran ini memang ditantang oleh kaum sastra modern fanatik atau dunia modern, akan tetapi mendapat tempat di dalam paradigma postmodern. Wallahu a’lam bissawab. (Fadlillah, dosen FIB Universitas Andalas).***

Surau Sastra Hamka, Limau Manih-Maninjau, 3105-01062025.-

*) Tulisan  SEMUA SASTRA ADALAH RELIGIUS ini sudah dimuat di harian Singgalang, edisi Minggu, edisi cetak, SINGGALANG Minggu » 22 Juni 2025 (26 Zulhijah 1446 H) » Halaman 3

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *