PENYAIR SEBAGAI INTELEKTUAL

 

Oleh Fadlillah

“Bangsa-bangsa lahir di tangan penyair

dan hancur di tangan politikus. .- Sir Muhammad Iqbal

 

 

Penyair sebagai seniman merupakan status sosial yang cukup dikenal dan terkemuka di tengah masyarakat, sekaligus juga dapat dipandang sebagai suatu profesi. Di masa lalu, mereka dikenal dengan sebutan pujangga. Namun pada hakikatnya, penyair adalah bagian dari barisan kaum intelektual—itulah sebabnya mereka kerap disebut sebagai tokoh masyarakat.

 

Ada beberapa alasan mengapa penyair dapat dikatakan sebagai kaum intelektual. Pertama, penyair senantiasa berpijak pada kebenaran, terlepas dari kebenaran versi mana, aliran, atau paham apa yang mereka anut. Kedua, penyair pasti berpihak; tidak ada penyair yang benar-benar netral. Kalaupun ada yang mengaku netral, sesungguhnya sikap itu pun merupakan bentuk keberpihakan. Ketiga, penyair memperjuangkan keberpihakan tersebut—baik melalui karya maupun dalam realitas kehidupannya sendiri, sebagai wujud integritas diri. Keempat, penyair melakukan studi atau pengkajian terhadap masa lalu, masa kini, dan bahkan memprediksi masa depan dalam konteks masyarakat, kemanusiaan, dan peradaban. Inilah yang memperkuat posisi penyair sebagai intelektual.

 

Sebagai kaum intelektual, di balik syair mereka yang indah dan penuh pesona, sesungguhnya tersimpan perjuangan besar terhadap nilai-nilai kemasyarakatan, kemanusiaan, dan peradaban. Ini pula yang menjadikan penyair layak disebut sebagai intelektual. Fakta menunjukkan bahwa syair yang ditulis para penyair bukanlah sekadar rangkaian kata-kata indah semata. Di balik keindahan itu tersembunyi kedalaman pengetahuan, nilai-nilai kemanusiaan, dan realitas sosial budaya masyarakat. Tentu, tidak semua syair demikian; ada yang ibarat kolam dangkal hanya membasahi permukaan, namun ada pula yang seperti lautan: dalam dan luas.

 

Perjuangan penyair tidak berhenti pada keindahan kata, melainkan juga sampai pada titik pengorbanan: nyawa, harta, bahkan seluruh kehidupannya. Banyak penyair yang karyanya dilarang, dibakar, bahkan mereka sendiri dipenjara atau dihilangkan oleh rezim penguasa. Fakta-fakta ini menunjukkan secara nyata mengapa penyair layak disebut kaum intelektual. Di Indonesia antara lain ada Rendra, Taufiq Ismail, Wiji Thukul, Rusli Marzuki Saria, Leon Agusta, Emha Ainun Nadjib, Abdul Hadi dll. Namun memang tidak semua penyair yang mengambil peran sebagai intelektual, di samping ada yang sebaliknya.

 

Karya para penyair pada hakikatnya merupakan bentuk diskursus kritis terhadap kemanusiaan, kehidupan, kekuasaan, dan peradaban. Diskursus ini dihadirkan melalui simbol dan metafora dalam bentuk puisi atau karya sastra. Oleh karena itu, diskursus mereka tidak bersifat langsung atau denotatif, melainkan simbolik, halus, dan terpelajar. Pemikiran atau diskursus kritis tersebut bukan hanya menyentuh akal pikiran, tetapi juga menembus jiwa dan nurani kemanusiaan. Inilah yang kerap ditakuti oleh penguasa yang merasa terganggu kekuasaannya. Karena itu, keberpihakan penyair sangat nyata, dan bukan netralitas semu. Inilah yang kerap disebut sebagai “sikap kepenyairan” seorang penyair. Ada hal yang mendasar dengan diambilnya oleh penyair sikap ini, yakni bahwa sikap ini pada hakikatnya merupakan panggilan jiwa, panggilan nurani kamanusiaan kepenyairan.

 

Persoalan keberpihakan ini tampak nyata, terutama terhadap kaum tertindas, terhadap nilai-nilai kemanusiaan yang dirusak, terhadap ilmu pengetahuan yang dibodohi, serta terhadap peradaban yang dikebiri atau dihancurkan oleh kezaliman. Inilah yang menyebabkan sastra, puisi, dan penyair menempati posisi terhormat dalam setiap peradaban. Sastra menjadi objek kajian yang mendalam dalam ilmu pengetahuan dan dunia akademis, bahkan dianggap sebagai puncak kehalusan dan keindahan ilmu pengetahuan. Karena itu pula, sastra hadir sebagai fakultas atau program studi di berbagai universitas dunia. Hanya kaum dungu yang merendahkan, menempatkan sastra pada strata rendah, atau melecehkannya. Bila pandangan demikian menjadi sikap suatu kaum, suku, atau bangsa, maka bangsa itu sesungguhnya bukan bangsa maju—dan akan sulit menjadi bangsa besar di dunia.

 

Penyair membaca realitas melalui jiwa. Perenungan mereka lahir dari kedalaman batin. Di sinilah perbedaannya dengan ilmuwan. Penyair tidak sekadar membaca realitas apa adanya, melainkan menyelami realitas di balik realitas, lalu membawanya ke dalam perenungan filosofis. Karena itu, karya-karya mereka menghadirkan perjuangan yang matang, kritis, reflektif, dan penuh keterlibatan.

 

Penyair bisa saja disebut sebagai “intelektual tradisional” atau “intelektual organik”, sebagaimana dikemukakan Antonio Gramsci. Sebagai intelektual, penyair adalah tokoh yang berpengaruh secara sosial dan budaya, terutama di kalangan terpelajar, serta mendapat pengakuan publik. Keintelektualan penyair bukanlah profesi dalam pengertian formal, melainkan merupakan peran sosial, status, atau identitas kultural dalam memengaruhi pemikiran, nilai, dan tindakan dalam proses perubahan dan kemajuan masyarakat.

 

Penyair sebagai intelektual bisa berasal dari beragam profesi formal—tukang becak, pedagang, buruh, dosen, penulis, peneliti, jurnalis, dan sebagainya—tetapi mereka disebut “intelektual” karena keterlibatannya dalam produksi dan penyebaran ide, serta kritik sosial dan budaya, baik melalui karya maupun dalam praktik kehidupannya. Seperti kata penyair Pakistan, Sir Muhammad Iqbal: “Bangsa-bangsa lahir di tangan penyair dan hancur di tangan politikus.” Atau seperti dikatakan John F. Kennedy: “Ketika politik menjadi kotor, maka puisilah yang membersihkannya.” Benarkah demikian? Wallāhu a‘lam biṣ-ṣawāb. (Fadlillah – dosen Sastra Indonesia FIB Universitas Andalas). ***

Surau Sastra Hamka – Kafe X’D House, 17 September 2025.

*) Tulisan  PENYAIR SEBAGAI INTELEKTUAL  ini sudah dimuat di harian Singgalang, edisi Minggu, edisi cetak, SINGGALANG Minggu » 15 Juni 2025 (19 Zulhijah 1446 H) » Halaman 4

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *