MATINYA PEMUSIK HARAM

Cerpen Fadlillah Malin Sutan

 

Pulang kerja, aku selalu naik bus malam. Aku mengambil tempat duduk dekat pintu, dengan demikian akan mudah dan strategis untuk meringkuk tidur. Seperti biasa aku akan tidur bila tidak melihat handphone atau membiarkan pikiran traveling ke mana-mana, melayang-layang, atau mengembara di rimba belantara khayal. Seharian bekerja memang melelahkan.

 

Bus bergerak lambat menjelang perbatasan kota sampai melewati stasiun kereta, kadang berhenti sejenak menaikkan penumpang. Ada juga pedagang asongan naik silih berganti, menjajakan makanan dan minuman ringan. Makanan lokal, seperti sala lawuak, lamang baluwo, pisang rebus, kerupuk balado, telur asin, lapek sagan dengan minuman teh es dan air mineral produksi lokal, karena air mineral brand tertentu sudah tidak laku dijual disebabkan peristiwa pemboikotan. Mereka biasa ribut meneriakkan dagangannya.

 

“Salaa, sala lawuak!” –

“Lamang Baluwo, Lamaang!”

 “Talua asiin!”

“Susuu dingiiin!”

“Tabuu aaiii!”

 

Bus ini sudah agak tua, jadi tidak pakai air conditioner, beberapa jendela dibuka, supaya tidak panas. Penumpang tidak seberapa, kebanyakan para pedagang, pegawai, kadang ada anak sekolah. Musik bus mengalun romantik dengan lagu-lagu daerah yang bercampur dengan lagu hit nasional. Aku sengaja memilih bus ini karena musik bus tidak dihidupkan dengan  volume yang keras.

Kebanyakan bus lain suka menghidupkan  musik dengan volume yang full seperti diskotik. Sehingga orang sulit untuk ngobrol di dalam bus, aku duga supir tidak suka dengan obrolan penumpang hiruk pikuk, namun ada alasan yang lebih tepat yakni, supaya supir tidak ngantuk. Bila dalam keadaan mengantuk akan sangat berbahaya  menjalankan kenderaan, dan sering terjadi kecelakaan akibat  supir ngantuk.

Di kota tempat aku bekerja ini memang selama ini terkenal bus umum dan angkutan kota dengan musik bervolume full. Tetapi sejak adanya  bus transkota maka tradisi tersebut mulai hilang, hanya tinggal bebarapa bus dan angkutan kota yang menghadirkan musik keras. Ada juga yang mengatakan karena masuknya suatu manhaj keagamaan yang diam-diam cukup masal ke kota ini, manhaj itu yang mengharamkan musik dengan segala perangkatnya.

Konon di kota ini, sudah ada beberapa pemusik dan seniman yang melakukan upacara pembakaran dan pemusnahan alat musik, akibat mereka masuk dan menganut aliran manhaj tersebut. Aku tidak dapat membayangkan bagaimana kota ini nantinya tanpa musik, suatu kota kesunyian. Mungkin aku berlebihan, sebab musik keras masih berkutimtam di sepanjang jalan, pada hari Sabtu dan Ahad di sepanjang lebuh besar cukup banyak pesta perhelatan pernikahan dengan sound system musik untuk kapasitas ukuran lapangan bola, dihidupkan sehingga membuat macet labuhan raya.

Bus yang kutumpangi ini sudah beberapa kali mengalami macet menjelang perbatasan kota, dari Lubuk Buaya ke Lubuk Alung, akibat perhelatan pernikahan  yang menghambat labuh besar dengan musik keras. Setelah melewati semua itu, bus mulai malaju kencang, walau beberapa pemusik jalanan sudah silih berganti naik mendendangkan lagu.

Aku pun siap-siap meringkuk, tidur, dan traveling ke alam mimpi. Tidak lama naik seorang pemusik jalanan yang kumuh, brewok, tak terawat, dengan mata kosong, nyaris seperti orang gila, dia mulai menyanyi dengan memetik gitarnya, tanpa henti sepanjang perjalanan itu. Dia memulainya dengan lagu sholawat kemudian baru masuk dengan lagu patah hati silih berganti, sesekali dijeda dengan lagu sholawat. Hanya sekali dia berhenti untuk meneguk kopi dari botol air mineral dekil yang dibawanya.

Semua penumpang terpesona, suaranya bagus, petikan gitar klasiknya level dewa. Boleh dikatakan jarang penumpang bus peduli dan mau mendengar musik jalanan, banyak yang tidak peduli dan bahkan banyak merasa terganggu. Tetapi yang satu ini seperti ditunggu penumpang dan seakan tersihir. Aku lirik ada beberapa penumpang menyembunyikan tetes air mata dengan pura-pura menunduk karena lagu sendu yang didendangkannya. Tidak pernah aku melihat orang meneteskan air mata disebabkan mendengar lagu. Perasaan semua orang terhanyut oleh lagu-lagunya.  Sepertinya, ia bernyanyi dan bermain musik dengan jiwanya atau jiwanyalah yang bernyanyi.

Semua lagunya adalah lagu kerinduan yang tak pernah selesai, patah hati yang tak terpemanai dan kepedihan yang tak berujung, tetapi bukanlah dihadirkan dengan cengeng. Setahuku adalah lagu-lagu tahun tujuh puluhan, delapan puluhan, sembilan puluhan dan beberapa lagu barat yang sekarang sudah jadul, tapi diantaranya seperti ada beberapa ciptaannya,

“Orang-orang mengenalnya sebagai orang gila yang suka menyanyi dengan gitar tuanya itu, ketika cuaca cerah dan indah atau senja hari yang rancak, sering dia menyanyi  sendirian di Lembah Anai tepi Sungai yang jernih, sehingga orang heran, ketika orang sudah ramai melihatnya, dia akan pergi,” kata perempuan bermasker yang duduk di sebelahku.

“Apa tidak ada keluarganya?” tanyaku.

“Orang tidak tahu, dari mana asalnya, sepertinya dia seorang gila pengembara, yang telah mengembara ke berbagai kota, ,…  aku dengar, konon dia seorang mantan dokter, karena dia pernah beberapa kali mengobati penumpang yang sakit tiba-tiba  di bus. Diduga orang, dia jadi gila karena patah hati, cinta yang tidak sampai, menunggu di terminal dan memeriksa bus demi bus dengan gitar dan menyanyi, seperti mencari atau menunggu seseorang … yang membuat banyak orang terenyuh dia tidak pernah mau menerima uang dari hasil nyanyiannya, dia makan sisa-sisa makanan di tong sampah rumah makan, kadang-kadang memang ada supir atau orang rumah makan yang mau memberinya nasi bungkus, dia tidur di mana saja bisa tidur, tapi sering di teras surau,” kata perempuan berbaju serba hitam bermasker itu seperti bergumam.

Sebenarnya penyanyi jalan ini sudah lama kutunggu dan dia sudah lama diperbincangkan orang dengan kemisteriusannya sebagai penyanyi jalanan dengan gitaris level dewa. Dia dikenal menyanyi tanpa henti tanpa minta uang sepeserpun.

Dari Sicicin, bus melewati INS Kayu Tanam, terus Kandang Ampek, bus berhenti di Lembah Anai sejenak di pangkalan peristirahatan pedagang pragede jaguang, ketika pedagangan asongan pragede jaguang naik, dia turun dan menghilang di kegelapan malam. Tidak lama perempuan berbaju serba hitam yang bermasker itu juga turun berjalan menuju ke arah penyanyi itu dan ditelan kegelapan. Penumpang seperti lepas dari keterpakuannya dan diam-diam banyak yang menghapus air mata dengan menyembunyikan dalam sorak penjual pragede jaguang sambil berbelanja penganan itu.

Setelah bus melewati air terjun Lembah Anai, bus merangkak mengikuti labuhan yang macet, berliku mendaki memasuki kota Padang Panjang, hari hujan rinai, aku tersintak dari tidur meringkuk di sudut pintu bus. Sudah larut malam, aku sampai di rumah dan dapat istirahat leluasa karena besok hari libur.

Libur sekali ini aku sempatkan ke rumah sahabat lamaku untuk ngopi bersama. Kami ngopi di sebuah kafe dekat lembah Anai dengan view sungai yang mengalir dari air terjun. Aku ceritakan padanya bahwa semalam aku bertemu dengan pemusik jalanan misterius di bus.

 

“Apakah kamu sempat menvideokannya?”

“Ada, tapi ketika sampai di rumah, aku lihat kosong, gelap dan yang terdengar hanya deru bus, aku kira aku salah merekam”

Sahabatku hanya tersenyum tipis, kemudian dia memperlihatkan gambar di layar  handphonenya.

“Ini kan, orangnya?”

“Iya, wah kamu punya ya”

“Dia sudah meninggal, bebarapa waktu yang lewat?”

“Hah! Jadi yang tadi malam itu siapa?”

“Ada beberapa bus malam yang mengalami, seperti itu…”

 

Aku tidak percaya, akhirnya sahabatku mengajak ke kuburannya di kampung sahabatku di pinggir labuh raya besar. Diceritakan, pemusik itu meninggal di sebarang kampungnya, waktu sudah sholat magrib di sebuah surau, mungkin karena sakit yang sudah lama dideritanya. Orang-orang di surau seberang kampungnya tidak mau menguburkan, dan semasa hidup pemusik itu sering diusir mereka. Mereka menjuluki pemusik itu sebagai pemusik haram. Rupanya mereka menganut manhaj yang mengharamkan musik.

Malam itu beberapa anak remaja mengantarkan jenazah pemusik itu ke dekat surau gadang kampung sahabatku. Shubuh Jum’at itu heboh di surau gadang, karena ada jenazah di teras depan surau gadang, yang meninggal itu adalah  pemusik jalanan yang misterius itu. Banyak juga jamaah menangisinya karena mereka banyak mejadi pengagum pemusik jalanan misterius itu. Setelah sholat Jum’at, ramai orang mensholatkannya dan menguburkannya dekat surau gadang.

Aku berdoa, bersholawat dan membacakan al-Fatihah di kuburan itu. Angin berhembus lembut dan suara burung menjauh di kejauhan, diantara suara gemercik sungai dekat sawah yang bertingkat-tingkat seberang surau gadang tua, kampung sahabatku. ***

Surau Sastra Hamka, Oktober 2024 – April 2025.-

 

Cepen MATINYA PEMUSIK HARAM ini  sudah dimuat di harian Singgalang, edisi Minggu, edisi cetak, Tgl. 25 Mei 2025 M, Halaman 4, 27 Zulkaidah 1446 H.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *