Cerpen Fadlillah Malin Sutan

 

TERBUNUHNYA SEORANG IMAM TUA DI SUBUH BUTA

Oleh Fadlillah Malin Sutan

 

Teringat olehku, satu kali, aku duduk di palanta Surau Angku Tapa. Aku membaca Madilog karya Tan Malaka, tokoh yang terkenal itu. Dulu buku tersebut terlarang beredar. Aku membacanya di sudut surau. Tiba-tiba aku dihampiri Mak Wan, garin tua itu. Dia menanyakan, dari mana aku mendapatkan buku yang dulu terlarang itu. Aku katakan, aku pinjam dari temanku. Dia menatapku dengan tajam.

 

“Hah, jangan kau baca pulalah buku itu!”

“Mengapa begitu?”

“Kau tahu, saya enam tahun tidak sholat, puasa, akibat membaca buku itu.”

Hah.”

“Iya, … apakah kau tamat madrasah?”

“Ya.

“Hmm, kalau begitu ndak apa-apa, bacalah, tapi hati-hati,… tetap kau imbangi dengan membaca buku-buku agama, seperti buku karya Hamka dll., dan selalulah memperdalam ilmu agama.”

“Mengapa begitu, Mak?”

“Aku dulu, tamat sekolah umum, minim agama, buku itulah yang mempengaruhi aku, sehingga aku berhenti sholat selama enam tahun,…  aku tidak punya pengetahuan agama yang akan dapat menetralisir pemikiran buku itu. Setelah aku kembali belajar pengetahuan agama, baru bisa aku menjawab, pertanyaan-pertanyaan mendasar tentang kehidupan dari buku itu, tentang takdir, Tuhan, logika, materi dan dialektika.”

 

“Lama aku mencari guru dan ustadz untuk mendapatkan jawaban, enam tahun, akhirnya aku mendapat jawaban dari Buya Syarbaini, bagaimana umur dan rezki itu sama panjang, bagaimana kedudukan logika, materi, dan dialektika sesungguhnya. Aku menyesal dulu tidak sekolah di madrasah.”

 

Kami ngobrol panjang di sudut surau. Beliau memang teman ngobrolku tentang politik, filsafat dan agama. Biasanya, kami diskusi selepas magrib menunggu datang waktu Isya.  Kami sering menikmati sore dengan secangkir kopi dan ditemani kretek. Kami sama-sama penyuka kopi tanpa gula. Dari dialah aku tahu cara membuat minuman kopi dengan rempah-rempah. Dia meramu kopi dengan kulit manis, cengkeh, ketumbar, lada hitam, daun pandan dan jahe, serta seangin garam, kadang dengan kunyit atau bawang putih hitam.

 

Beliau menghabiskan masa tuanya jadi garin dan imam sholat di surau Angku Tapa, setelah bercerai dengan istrinya. Dia juga mengisi hari-harinya  dengan menjadi dai di beberapa surau dan masjid.

 

Dulu dia pedagang rokok daun nipah tembakau Payakumbuh. Berdagang dari balai ke balai, balai Selasa, Rabaa dan balai Kamih. Hari Jumat dia istirahat berdagang keliling. Setelah masa surut perdagangan rokok tembakau tradisi, dia pensiun berdagang. Di masa surut ekonomi itulah istrinya minta cerai. Setelah bercerai, kemudian dia memutuskan untuk mengisi hari tuanya  menjadi garin di surau.

 

Surau Angku Tapa cukup ramai dipenuhi anak-anak dan pelajar membaca buku. Karena dia menjadikan dinding surau penuh dengan buku. Dia pencinta buku, dia menghimpun sumbangan buku dari jamaah dan perantau. Dapat dikatakan surau itu jadi perpustakaan. Koleksi bukunya banyak, mulai dari buku agama, sejarah, politik, filsafat sampai buku anak-anak. Aku kagum dan inilah yang membuat aku sering ke surau ini.

Di depan surau, ada kolam yang jernih, diisi dengan  ikan nila, mujair dll. Di sekeliling surau  ditanami dengan pohon buah-buahan yang cukup banyak dan ada lapangan anak-anak bermain, berolah raga dan berlatih Silat Kumango dan Silat Lintau. Dengan demikian, udara di surau itu sejuk dan adem.

 

Satu kali dia bercerita, bahwa bangsa ini dimerdekakan hanya dengan sebatang rokok kretek.

“Kamu tahu, peristiwa diplomasi Agus Salim”

“Maksud Mamak, bagaimana?”

“Kalau kamu baca sejarah, bagaimana Agus Salim dengan sebatang kretek membuat raja Inggris tidak berkutik. Agus Salim bilang pada raja Inggris, dalam gulungan kretek ini ada cengkeh, tembakau dan rempah-rempah yang membuat Tuan menjajah negeri kami. Begitu juga ketika diplomasi di Konferensi Meja Bundar, Haji Agus Salim merokok di sana, para pemimpin negara-negara barat itu jengkel, terutama negara Belanda. Kembali The Grand Old Man itu mengatakannya, karena cengkeh, tembakau dan rempah-rempah ini kalian menjajah. Sehingga semua bertepuk tangan kecuali Belanda yang malu. Sudahlah kalian tandatangani saja pengakuan itu, kata Agus Salim. Akhirnya Indonesia diakui, hanya dengan sebatang rokok, Indonesia merdeka.. hehehe,” katanya terkekeh.

“Tidak ada diceritakan guru di sekolah itu Mak.”

“Memang…, tahu kau, M. Natsir, Hamka, Soekarno, Haji Agus Salim, itu perokok. Kemudian, bangsa ini pun dibiayai kehidupannya oleh rokok dengan pajak terbesar, sampai kini, akan tetapi rokok dikutuk dan dibenci oleh bangsa ini, bukankah ini tidak membalas guna, durhaka, Malin Kundang. Pantas negara seperti ini sekarang.”

Kemudian dia bercerita tentang keluarganya.

“Selama ini aku membiayai hidup istriku dengan nafkah berdagang rokok, sehingga kubelikan dia rumah, sawah, ladang dll. Tahu-tahu dia menganut paham pengharaman rokok dan fanatik dengan kesehatan modern. Di masa badan sudah tua ini, dipecatnya aku jadi suaminya, karena aku perokok… hehehe,” katanya sambil tertawa dan di sudut matanya ada linangan air bening.”

Aku terdiam.

Dia menghisap rokok kreteknya dan kemudian meneguk kopi. Dia mengatakan bahwa dia berasal dari keluarga perokok. Kakek neneknya adalah perokok, berusia panjang, bahkan ada yang sampai seratus tahun. Secara tradisi, katanya, orang yang hidup di pinggang gunung yang dingin ini adalah perokok, penyirih, dan pengopi. Kemudian zaman sudah berubah, ketika masuk zaman modern semua tidak seperti dulu lagi.

 

Kini Mak Wan tinggal kenangan. Ketika aku sedang berada di kota, aku mendapat kabar bahwa beliau sudah wafat. Kata polisi, beliau ditusuk oleh orang gila ketika sedang jadi imam sholat subuh. Kudengar, ramai orang kampung mensholatkan jenazahnya setelah sholat Jumat. Rasanya aku ingin cepat pulang untuk ziarah ke kuburannya. Alfatihah. Wallahu a’lam bisswab. ***

Surau Sastra Hamka, Limau Manih, 19062025.-

 

*) Cepen TERBUNUHNYA SEORANG IMAM TUA DI SUBUH BUTA
ini sudah dimuat di harian SINGGALANG Minggu » 6 Juli 2025 (10 Muharram 1447 H) » Halaman 4

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *