Garin Surau MinangkabauDi tengah-tengah Nagari Ongek, tersembunyi di antara hijaunya hamparan sawah dan perbukitan yang melingkari desa, berdiri sebuah surau tua. Surau itu, dengan atap ijuk yang mulai reyot dan dinding kayu yang kusam, masih kokoh meski sudah tak lagi muda. Di dalamnya, pada setiap senja dan fajar, suara azan tetap berkumandang, memecah kesunyian alam yang melingkupi nagari. Suara itu berasal dari seorang garin yang sederhana bernama Gaek Mangkuto.

Gaek Mangkuto, lelaki tua berusia lebih dari enam puluh tahun, adalah sosok yang akrab bagi penduduk Nagari Ongek. Setiap pagi, ia akan terlihat menyapu halaman surau, membersihkan debu-debu yang menempel di lantai, dan merapikan sajadah yang tergulung di sudut. Rambutnya telah memutih, wajahnya penuh dengan keriput yang dalam, namun senyumnya tetap meneduhkan hati siapa saja yang menatapnya.

Nagari Ongek sendiri adalah sebuah desa kecil yang tenang, dikelilingi oleh perbukitan yang hijau dan sungai yang mengalir jernih. Penduduknya hidup dengan damai, saling mengenal dan saling menjaga satu sama lain. Mereka adalah orang-orang yang sederhana, yang menjalani kehidupan dengan penuh syukur atas segala berkah yang diberikan alam.

Meski begitu, ada satu hal yang membuat Nagari Ongek berbeda dari desa-desa lainnya. Di tengah ketenangan dan kedamaiannya, tersebar desas-desus yang selalu dibisikkan dari mulut ke mulut oleh penduduknya. Desas-desus itu berpusat pada Gaek Mangkuto, sang garin surau.

Desas-desus itu mengatakan bahwa Gaek Mangkuto bukanlah sekadar garin surau biasa. Kabarnya, ia adalah ketua dari sebuah jaringan mafia judi online yang besar dan berbahaya. Namun, tidak ada seorang pun yang berani mengonfirmasi kebenaran desas-desus tersebut. Bagi mereka, Gaek Mangkuto adalah sosok yang terhormat, seorang yang tak pernah absen dalam menjalankan tugasnya sebagai garin. Namun, bayang-bayang kecurigaan itu selalu membayang di benak mereka, membuat mereka bertanya-tanya tentang siapa sebenarnya Gaek Mangkuto.

Surau tua itu berdiri di atas sebuah bukit kecil, dari mana pemandangan Nagari Ongek dapat terlihat dengan jelas. Di sekelilingnya terdapat pepohonan rindang yang memberikan kesejukan di siang hari. Pada malam hari, suara hewan malam dan gemericik air sungai menjadi satu-satunya teman bagi Gaek Mangkuto, yang selalu menghabiskan waktunya dalam kesendirian di surau itu.

Hari itu, seperti biasa, Gaek Mangkuto bangun sebelum fajar. Dengan langkah tenang, ia berjalan ke sumur di belakang surau untuk mengambil air wudu. Udara pagi yang dingin menusuk tulang, namun ia tak menghiraukannya. Setelah selesai berwudu, ia masuk kembali ke dalam surau, menyapu lantai dengan sapu lidi yang sudah usang, lalu duduk bersila di depan mihrab. Ia mengeluarkan tasbih dari saku bajunya, dan mulai berdzikir dengan khusyuk.

Namun, pagi itu terasa berbeda. Ada sebuah kegelisahan yang tiba-tiba menyelinap di hati Gaek Mangkuto. Meski ia mencoba untuk tetap tenang, perasaannya tak dapat dipungkiri. Matanya melirik ke luar jendela, melihat hamparan sawah yang mulai diterangi cahaya fajar. Tak ada yang aneh, segalanya tampak seperti biasa. Namun, kegelisahan itu tak kunjung hilang.

Setelah azan subuh berkumandang, beberapa orang jamaah datang untuk melaksanakan shalat berjamaah. Gaek Mangkuto mengimami shalat dengan tenang, seperti biasa. Setelah selesai, para jamaah duduk sejenak, mendengarkan tausiyah singkat darinya. Tak ada yang aneh, tak ada yang berbeda. Namun, Gaek Mangkuto tahu, di balik wajah-wajah jamaah itu, ada rasa ingin tahu yang besar tentang dirinya. Mereka mungkin tak pernah bertanya secara langsung, namun Gaek Mangkuto bisa merasakan tatapan penuh kecurigaan itu.

Usai shalat subuh, surau kembali sepi. Gaek Mangkuto duduk di beranda, memandangi kabut pagi yang perlahan-lahan menghilang, terhapus oleh sinar matahari yang mulai menghangat. Dalam kesendiriannya, ia merenung. Ia sadar bahwa desas-desus tentang dirinya telah menyebar ke seluruh penjuru nagari. Namun, ia tak pernah berniat untuk mengklarifikasinya. Baginya, apa yang orang lain pikirkan tidaklah penting. Yang terpenting adalah hubungan pribadinya dengan Tuhan, yang ia yakini selalu mengawasi setiap gerak-geriknya.

Namun, kegelisahan itu tak kunjung pergi. Gaek Mangkuto merasa ada sesuatu yang akan terjadi, sesuatu yang besar, yang akan mengubah segalanya.

Malam itu, Nagari Ongek diselimuti kegelapan yang pekat. Bulan tersembunyi di balik awan tebal, meninggalkan surau tua dalam bayang-bayang misterius. Gaek Mangkuto duduk di dalam surau, di depan mihrab, dengan cahaya lampu minyak yang redup menemani. Tiba-tiba, pintu surau berderit pelan, terbuka oleh angin malam yang lembut.

Seorang lelaki masuk. Wajahnya setengah tertutup oleh kain sarung yang dililitkan ke kepalanya. Ia berdiri di depan Gaek Mangkuto, matanya tajam menatap sang garin.

“Gaek Mangkuto,” suara lelaki itu serak, penuh dengan ketegangan, “saya sudah menemukan bukti.”

Gaek Mangkuto menatap lelaki itu tanpa ekspresi. “Bukti apa?”

“Bukti bahwa Gaek Mangkuto adalah ketua dari jaringan mafia judi online yang selama ini kami cari,” jawab lelaki itu tegas.

Hening. Hanya suara detik jam dinding tua yang terdengar. Gaek Mangkuto tak segera menjawab. Wajahnya tetap tenang, tak ada tanda-tanda ketakutan atau kegelisahan. Ia hanya menatap lelaki itu dengan mata yang tajam, seolah-olah sedang menembus jauh ke dalam jiwa lelaki tersebut.

“Apa yang kau inginkan dariku?” tanya Gaek Mangkuto akhirnya.

Lelaki itu mendekat, suaranya merendah. “Saya ingin kebenaran, Gaek Mangkuto. Saya ingin tahu siapa sebenarnya Anda.”

Gaek Mangkuto tersenyum tipis. “Kebenaran,” gumamnya, seolah mengulang kata itu dalam hati. “Kebenaran bukanlah sesuatu yang bisa kau lihat dengan mata telanjang, Nak. Kadang, kebenaran hanya bisa dirasakan di dalam hati, jika hatimu cukup bersih untuk menerimanya.”

Lelaki itu terdiam, kebingungan. Ia datang dengan penuh tekad, namun kini ia merasa ragu. Wajah Gaek Mangkuto begitu tenang, begitu damai, tak seperti wajah seorang kriminal yang penuh dosa.

Namun, sebelum ia bisa berbicara lagi, Gaek Mangkuto berdiri. “Waktuku hampir habis,” katanya pelan. “Jika kau ingin tahu siapa aku sebenarnya, maka lihatlah ke dalam hatimu sendiri. Hanya di sanalah kau akan menemukan kebenaran.”

Lelaki itu terdiam, menatap Gaek Mangkuto dengan mata terbelalak. Dalam sekejap, bayangan Gaek Mangkuto mulai menghilang, seolah-olah ia lenyap ke dalam kegelapan malam. Lelaki itu berdiri terpaku, bingung dan ketakutan.

Ketika ia akhirnya keluar dari surau, angin malam bertiup kencang, membawa kabut tebal yang menyelimuti seluruh nagari. Tak ada jejak Gaek Mangkuto yang tertinggal, hanya kesunyian yang mencekam. Lelaki itu berlari kembali ke desa, namun perasaan takut dan bingung terus menghantui pikirannya.

Di Nagari Ongek, desas-desus tentang Gaek Mangkuto semakin berkembang. Ada yang mengatakan bahwa Gaek Mangkuto telah meninggal dan rohnya kini gentayangan di surau tua. Ada pula yang percaya bahwa Gaek Mangkuto adalah sosok yang sakti, yang bisa berpindah-pindah tempat tanpa diketahui. Namun, tak ada satu pun yang tahu kebenaran yang sebenarnya.

Surau tua itu kini tak lagi dihuni. Gaek Mangkuto tak pernah terlihat lagi, seolah-olah ia telah lenyap bersama malam itu. Nagari Ongek kembali ke kesunyian dan kedamaiannya, namun bayang-bayang misteri tentang Gaek Mangkuto tetap menghantui pikiran penduduknya.

Dan di tengah kesunyian itu, di sebuah surau tua yang berdiri kokoh di atas bukit, suara angin malam tetap berhembus, membawa desas-desus yang tak pernah terjawab. (Dibuat dengan AI)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *