Cerpen Bagus

Di balik layar kaca yang selalu memancarkan senyum dan pesona, Nadira Rahimanyah menjalani hidupnya sebagai selebriti yang dicintai banyak orang. Wajahnya yang oval dengan mata cokelat yang selalu memancarkan ketulusan, membuat siapa pun yang melihatnya merasa hangat. Ia terkenal tidak hanya karena kecantikannya, tetapi juga karena sifatnya yang ramah dan santun. Di dunia yang penuh dengan gemerlap, Nadira selalu tampil sederhana, menjaga keluarga kecilnya dengan penuh kasih sayang. Suaminya, Reza, adalah seorang pengusaha sukses yang mencintainya tanpa syarat. Mereka dikaruniai seorang putra berusia tiga tahun, Arkan, yang menjadi pusat kebahagiaan mereka.

Pagi itu, Jakarta terbangun dengan berita yang mengguncang. Semua kanal media sosial dan televisi memberitakan skandal yang melibatkan Nadira dan seorang pemain bola dari luar negeri, Diego Monteiro. Sebuah foto mereka berdua yang tampak terlalu dekat di sebuah kamar hotel di Paris tersebar luas. Dunia seakan berhenti berputar untuk Nadira. Ia tidak pernah menyangka bahwa momen singkat yang terjadi dalam kelemahan akan merusak segala yang telah ia bangun selama ini.

***

Di kediamannya yang mewah di kawasan Menteng, Nadira duduk terdiam di ruang tamu. Tangannya gemetar, memegang ponsel yang penuh dengan pesan-pesan dari teman, manajer, dan penggemarnya. Ia tahu bahwa Reza sudah melihat semuanya, dan sekarang hanya menunggu kepulangannya.
Tak lama, suara langkah kaki Reza terdengar. Pria tinggi dengan rahang tegas itu memasuki ruang tamu dengan wajah yang sulit dibaca. Mata mereka bertemu, dan Nadira tahu bahwa penjelasan apa pun tidak akan cukup untuk menghapus rasa sakit ini.

“Reza, aku…” Nadira mencoba berbicara, tapi suaranya tercekat.

Reza tetap diam, menatap istrinya dengan tatapan yang tidak bisa ditebak. Akhirnya, ia duduk di samping Nadira dan menghela napas panjang.

“Kenapa, Nadira?” tanyanya pelan, namun penuh penekanan. “Apa yang membuatmu melakukan ini?”
Air mata mengalir di pipi Nadira. “Aku… aku tidak tahu. Itu hanya… terjadi. Aku lemah, dan aku membuat kesalahan besar. Tapi Reza, itu tidak berarti apa-apa. Aku mencintaimu, aku mencintai Arkan. Aku mohon, maafkan aku.”

Reza menunduk, menatap lantai marmer yang dingin. Seluruh tubuhnya terasa berat, seolah-olah dunia ini telah menghancurkannya dari dalam. Tetapi ada sesuatu yang lebih besar, lebih gelap, yang telah ia simpan selama ini. Aib yang membuat hatinya terbelah antara rasa sakit dan kesadaran bahwa ia tidak sepenuhnya tak bercela.

“Nadira,” kata Reza dengan suara serak, “aku akan memaafkanmu. Tapi bukan karena aku kuat atau karena aku suci. Aku memaafkanmu karena aku juga bersalah.”

Nadira menatap suaminya dengan tatapan bingung. “Apa maksudmu?”

Reza menelan ludah, dan tanpa menatap Nadira, ia mulai bercerita. “Beberapa bulan yang lalu, saat kau sedang sibuk syuting di luar negeri, aku… aku lemah juga. Ibumu datang ke rumah untuk membantu menjaga Arkan. Kami berbicara, menghabiskan waktu bersama… dan sesuatu yang tidak seharusnya terjadi, terjadi. Aku tidur dengannya, Nadira.”

Nadira terdiam, merasa dunia seakan hancur berantakan. Ia tidak pernah membayangkan bahwa pria yang selama ini ia percayai, yang ia cintai sepenuh hati, menyimpan rahasia yang begitu kelam. Lebih dari itu, rahasia itu melibatkan orang yang sangat dekat dengannya—ibunya sendiri.

“Aku tahu aku seorang pengecut,” lanjut Reza dengan suara parau. “Aku tidak tahu harus bagaimana. Aku terlalu takut untuk memberitahumu. Dan sekarang, dengan apa yang terjadi pada kita… aku merasa kita sedang menjalani hukuman yang sama.”

Nadira terisak, rasa sakit dan pengkhianatan bercampur aduk dalam hatinya. Namun, di tengah rasa sakit itu, ada juga rasa lega. Mereka berdua telah jatuh dalam kelemahan, membuat kesalahan yang tidak dapat dimaafkan oleh orang lain, tetapi mungkin bisa saling memaafkan.

“Reza, apa yang kita lakukan sekarang?” Nadira bertanya dengan suara yang hampir tidak terdengar.

Reza mengangkat wajahnya, menatap Nadira dalam-dalam. “Kita mulai dari awal, Nadira. Kita berdua sudah hancur, tapi kita masih bisa membangun kembali. Demi Arkan, demi keluarga kita.

Tapi hanya jika kau mau… dan jika aku juga bisa.”

Nadira menatap Reza dengan air mata yang mengalir deras. “Aku mau, Reza. Aku mau mencoba. Tapi bagaimana dengan Ibu? Bagaimana aku bisa melihatnya lagi setelah ini?”

Reza menghela napas panjang, seolah memikirkan jawaban yang tepat. “Kita harus bicara dengannya, harus mencari cara untuk menyelesaikan ini. Mungkin tidak akan mudah, bahkan mungkin akan menyakitkan. Tapi kita harus mencobanya. Jika tidak, kita hanya akan hidup dalam bayang-bayang dosa kita.”

Hari-hari berlalu dengan lambat. Nadira memutuskan untuk sementara waktu menarik diri dari sorotan publik. Ia tahu bahwa media akan terus mencari berita tentang dirinya, tetapi ia tidak peduli. Prioritasnya sekarang adalah keluarganya. Ia dan Reza mulai menjalani terapi bersama, mencoba memahami dan menyembuhkan luka yang telah mereka buat satu sama lain.

Sementara itu, Nadira berusaha keras untuk menjaga jarak dari ibunya. Ia tahu bahwa pada akhirnya, mereka harus berbicara, tetapi ia belum siap. Setiap kali ibunya menelepon atau mengirim pesan, Nadira hanya membalas dengan singkat, tanpa emosi. Rasa sakit yang ia rasakan masih terlalu dalam untuk dihadapi.

Suatu sore, saat Nadira sedang bermain dengan Arkan di taman belakang rumah, ibunya datang tanpa pemberitahuan. Nadira terkejut, tetapi ia tidak bisa menghindari pertemuan ini selamanya.

Dengan napas yang berat, ia mengajak ibunya duduk di teras, sementara Arkan bermain di ayunan.

“Nadira, aku… aku tidak tahu harus mulai dari mana,” kata ibunya dengan suara bergetar. “Aku tahu aku telah menghancurkan kepercayaanmu, dan aku tidak mengharapkan pengampunanmu.

Tapi aku ingin kau tahu bahwa aku sangat menyesal. Itu adalah kesalahan besar, dan aku siap menerima apapun yang kau putuskan.”

Nadira menatap ibunya dengan mata yang merah dan sembab. “Ibu, aku tidak tahu bagaimana harus merespons ini. Aku merasa marah, kecewa, dan juga terluka. Tapi Ibu adalah ibuku. Aku tidak bisa begitu saja membuang semua kenangan dan kasih sayang yang pernah kita miliki. Namun, aku juga tidak bisa melupakan apa yang telah terjadi.”

Ibunya mengangguk pelan, air mata mengalir di pipinya. “Aku tidak akan memaksamu untuk memaafkan, Nadira. Tapi aku harap kita bisa memperbaiki hubungan kita, sedikit demi sedikit. Demi Arkan, demi keluarga kita.”

Mendengar nama anaknya disebut, hati Nadira melunak. Ia tahu bahwa Arkan membutuhkan kehadiran neneknya, dan mungkin, dengan berjalannya waktu, ia akan bisa merelakan dan memaafkan.

“Baiklah, Bu,” kata Nadira akhirnya. “Kita bisa mulai perlahan. Tapi aku butuh waktu. Kita semua butuh waktu.”

Mereka berdua terdiam, hanya suara tawa kecil Arkan yang terdengar di kejauhan. Di bawah langit senja Jakarta yang mulai berubah warna, Nadira menyadari bahwa hidupnya mungkin tidak akan pernah sama lagi. Tapi mungkin, di tengah reruntuhan ini, ada harapan untuk membangun sesuatu yang baru, yang lebih kuat dan lebih tulus.

***

Malam itu, ketika Nadira dan Reza berbaring berdampingan di tempat tidur, mereka saling menggenggam tangan, mencoba mencari kehangatan dalam kesunyian yang melingkupi mereka. Reza membisikkan doa dalam hati, berharap Tuhan memberi mereka kekuatan untuk melewati cobaan ini.

“Kita akan baik-baik saja, Nadira,” katanya dengan suara rendah, seolah meyakinkan dirinya sendiri. “Kita akan melalui ini bersama.”

Nadira mengangguk, meski hatinya masih dipenuhi keraguan. “Ya, kita akan coba, Reza. Kita akan coba.”

Dan di dalam kegelapan kamar itu, mereka berdua tahu bahwa meski jalan di depan mereka akan sulit, mereka siap untuk melangkah maju, bersama-sama. (Hasil kerja AI)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *