Akmal Nasery Basral*

1/

Ini saatnya membaca statistik pertandingan sepak bola lebih adil. Skor akhir 1-1 antara timnas tuan rumah Arab Saudi versus timnas tamu Indonesia di Jeddah beberapa jam lalu hanyalah membagi rata perolehan kedua tim dengan masing-masing mendapat satu poin. Skor 1-1 sama sekali bukan menandakan pertandingan imbang. Tidak! Pertandingan berjalan berat sebelah.

ESPN mencatat penguasaan bola tim Elang Hijau Gurun sebanyak 65,8% dan tim Garuda hanya 34.2%. Angka yang njomplang. Tim Saudi yang diarsiteki Pelatih Roberto Mancini juga melepaskan 4 kali tembakan ke arah gawang, sedangkan tim Indonesia yang ditukangi Shin Tae-yong hanya 2 kali. Untuk sepak pojok, rasionya lebih parah lagi. Arab Saudi mendapatkan 6 kali kesempatan, sedangkan Indonesia hanya satu kali. Jadi, dominasi pertandingan dan tekanan dikuasai oleh Arab Saudi secara nyata.

Skor akhir 1-1 juga tidak menggambarkan kekuatan kedua timnas adalah setara. O, tidak! Arab Saudi menempati peringkat 56 dunia, sedangkan Indonesia peringkat 133. Ada selisih 77 peringkat di antara kedua tim. Arab Saudi sudah enam kali mengikuti Piala Dunia, Indonesia belum pernah (kecuali sekali era Hindia Belanda, jaman baheula). Itu sebabnya, kemampuan Garuda menahan serbuan agresif Elang Hijau Gurun membuat Indonesia mendulang poin tambahan 6,88 poin dan mendongkrak posisi naik dua tingkat lebih tinggi ke peringkat 131. Alhamdulillah.

Jadi, bagaimana cara membaca skor akhir 1-1 itu? Jelas sekali kekalahan Arab Saudi yang bermain di rumah sendiri. Sekaligus berarti, kemenangan Indonesia secara substantif. Tak bisa lain. Sekali lagi, bukan hasil imbang.

2/

Untuk itu kita berterima kasih kepada para pemain timnas yang bertungkus lumus di lapangan, khususnya kepada Ragnar “Wak Haji” Oratmangoen dan Maarten “Peh” Paes.

Wak Haji Ragnar membobol gawang Al Owais pada menit ke-18 dengan tendangan geledek kaki kiri di ruang sempit.

Awalnya, akun @timnasindonesia, dan para komentator, menyebut gol ini dibuat Sandy Walsh karena bola dari Ragbar sempat menyentuh betis kanannya dan berubah arah yang tak bisa direspon Al Owais. Namun FIFA kemudian memberikan klarifikasi bahwa kredit pencetak gol tetap diberikan kepada Ragnar, yang untuk pertama kali sepanjang kariernya, berpenampilan kepala plontos usai melakukan umroh Senin lalu (2/9). Gol Wak Haji ini membangkitkan mental para garuda bahwa gawang Arab Saudi bukan mustahil untuk dibobol, bahkan di depan mata rakyat mereka sendiri yang anggap remeh Indonesia.

Terima kasih berikutnya kepada Maarten Paes yang menjalani pertandingan perdana bersama timnas Indonesia. Meski gawangnya bobol pada akhir babak pertama (itupun karena tendangan Musab Al Juwair menyentuh pundak Calvin Verdonk sehingga bola melenting berubah arah tak bisa diantisipasi), Paes melakukan penyelamatan gemilang di menit 79 saat mampu memblok tendangan penalti Kapten Salem Al Dawsari. Sehingga skor 2-1 yang sudah di depan mata Roberto Mancini, buyar. Tak pernah tercipta hingga peluit terakhir dibunyikan wasit Adham Makhadmeh dari Yordania. Mancini tertunduk lesu. Nama besarnya sebagai salah satu pemain terbaik Italia di tahun 90-an sudah tak ada tuahnya lagi sebagai pelatih.

3/

Keberhasilan Indonesia meraih satu poin dari Jeddah sekaligus menjadi momentum penting bahwa sudah tak seharusnya lagi isu pemain “local pride” vs “naturalisasi” terus diembus-embuskan. Sepanjang tak ada Statuta FIFA yang dilanggar menyangkut status pemain, maka wacana itu semakin tak lagi relevan dipertentangkan.

Gambar Timanas/ Byrle 3gp/Pexels
Ilustrasi Timnas Indonesia. Foto Byrle 3gp/Pexels

Posisi pemain starter timnas yang hanya menyisakan 2 pemain “local pride” yakni bek Rizky Ridho dan gelandang Witan Sulaeman di tengah 9 pemain hasil naturalisasi (Maarten Paes, Jay Idzes, Calvin Verdonk, Nathan Tjoe-A-On, Sandy Walsh, Tom Haye, Ragnar Oratmangoen, Ivar Jenner, dan Rafael Struick), bukan berarti para pemain Liga 1 dianaktirikan Shin Tae-yong.

Sudah tidak saatnya lagi menakar nasionalisme dari kacamata kuda “siapa lahir di mana dari ayah-ibu etnis apa” Bahkan meski tak ada setetes darah Indonesia pun di dalam tubuh, seperti Maarten Paes, hanya keturunan blijvers (orang Belanda yang lahir di Indonesia), sepanjang Statuta FIFA membolehkan, maka Paes juga sama “merah putihnya” dengan Rizky Ridho atau Witan.

Bahkan kiper FC Dallas itu ketika baru sampai Jeddah sempat menjadi konten sebuah video yang viral. Saat ditanyakan dari mana asalnya, Maarten menjawab “Kediri” sesuai dengan fakta historis bahwa nenek dari garis ibunya yang blijvers memang lahir di Kediri pada 1940 dan menghabiskan lima tahun pertamanya di kota itu sebelum Indonesia merdeka dan para blijvers kembali ke negara leluhur mereka.

Maarten, di luar lapangan, ternyata humoris. Ketika ditanyakan apa buktinya dia orang Kediri, penjaga gawang bertubuh tonjang (tinggi 1,92 cm) yang sudah menjadi pemegang green card AS sejak Maret 2024 itu menjawab pendek secara tersenyum, “Peh!”, yang merupakan bahasa gaul warga Kediri. Padanan kata dalam bahasa Indonesia adalah “wah”.

4/

Pertandingan berikutnya sudah menunggu di depan mata melawan Australia pada Selasa, 10 September, di GBK Jakarta. Tim Socceros bahkan menempati peringkat FIFA di urutan 24, atau lebih tinggi dari Arab Saudi. Namun kekalahan mereka kemarin dengan skor 0-1 dari Bahrain (peringkat 80 FIFA), menunjukkan urutan peringkat memang bisa berbeda di lapangan.

Pertandingan Indonesia vs Australia bisa dipastikan bakal jadi sengit karena Australia sudah pasti tak ingin kalah dua kali berturut-turut yang akan membuat posisi mereka di urutan buncit Grup C. Sementara Indonesia yang bermain di kandang sendiri juga tak akan menyia-nyiakan kesempatan pertama untuk memetik kemenangan untuk mendapatkan poin penuh.

Kita tunggu aksi Istimewa berikutnya dari Wak Haji Ragnar, Maarten “Peh” Paes, dan para pemain lain untuk menunjukkan nasionalisme mereka yang menyala-nyala. 🔥🇮🇩

Cibubur, 6 September 2024

*Penulis (yang bangga dengan timnas sekarang)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *