Cerpen Fadlillah Malin Sutan

Subuh itu, aku dengar kabar, jalan putus ke ibu kota provinsi. Sementara besok pagi aku harus masuk kerja. Dengan demikian, mau tidak mau,  aku terpaksa harus mengambil jalan melingkar yang sangat jauh. Jalan yang melintasi pinggang tiga gunung dan setengah sisi danau besar, kemudian terus  dua jam menyisiri pantai barat. Sungguh perjalanan melelahkan, suatu waktu tempuh seharian penuh. Paling cepat, magrib baru sampai, tapi bukan tidak mungkin tengah malam.

Setelah sholat subuh  aku naik bus menuju kota wisata terbesar di provinsi ini. Di perjalanan antara Sungai Tarab, Rao-Rao, Tanjuang Alam dan Baso aku lihat beberapa bekas air bah di beberapa sungai. Sebelum bertukar bus,  aku istirahat sejenak minum kopi dan sarapan pagi lontong gulai cubadak di warung pinggir jalan seberang rumah makan Simpang Raya. Di sini aku mendapat kabar bawa semalam terjadi golodo atau air bah yang dahsyat ketika hujan lebat. Air bah yang hulunya dari tiga gunung. Bencana itu mengakibatkan di tiga jalan utama menuju ibu kota provinsi runtuh dan rusak berat, salah satunya diperkirakan akan membutuhkan waktu yang lama untuk memperbaikinya.

Aku naik bus Sarah, yang mengambil jalan ke Ngarai, untuk itu harus melintas pusat kota melalui rumah masa kecil Bung Hatta, dari Ngarai terus lewat negeri  the grand old man Agus Salim, St. Syarir, dan tembus ke negeri masa kecil sastrawan  Motinggo Busye, dan masuk ke jalan yang menurun dan sangat banyak berkelok, kelok itu berjumlah empat puluh empat kelok sebelum sampai ke tepi danau, negeri sastrawan Hamka dan Nur St Iskandar. Iseng terfikir olehku, mengapa ketika musibah galodo menimpa negeri ini aku seperti dipaksa untuk napak tilas menziarahi negeri para founding father itu. Pertanda dan ada apa atau isyarat apa dari kejadian bencana ini sebenarnya ya, apakah hanya kebetulan, entalah,

Dari menyesiri tepi danau, jalan lurus ke barat, setelah melewati kota kabupaten akan tertumbuk di simpang bandar lada dan rempah-rempah tertua, pelabuhan Tiku. Dari sini jalan juga lurus tepi pantai samudra Hindia ke Nareh, dari Nareh aku naik kereta api menuju ibu kota provinsi. Tidak jauh dari Nareh itu sebelum masuk kota kabupaten, ada sekolah tinggi beruk,  dan banyak beruk-beruk dari berbagai  daerah di provinsi ini pergi sekolah ke sini, mereka menuntut ilmu dan belajar sampai jadi sarjana. Namun setinggi-tinggi para beruk itu sekolah, mereka tetap hanya jadi buruh pemetik buah kelapa, dengan upah semangkok makanan dan satu pisang. Ya tetap lah jadi beruk. Aku melihat dari jendela kereta, simpang Apa, tempat sekolah tinggi beruk itu.

Sudah magrib, akhirnya aku sampai di kota provinsi. Setelah sholat magrib, aku istirahat melepas lelah  di tempat biasa aku mengopi, sebuah lapau kopi ujung jembatan sungai Kuranji.

“Baru tiba, Sutan”, sapa Bagindo Mukhlis.

“Ya, Bagindo”, sahutku, melepas penat. Di lapau itu sudah ada kawan-kawan dan mahasiswa.

Orang-orang di lapau juga membicarakan tentang bencana  dan jalan utama ke propivinsi yang putus. Dari kawan-kawan mahasiswa aku mendapat kabar surau Zuber roboh oleh galodo semalam.  Surau itu ditembak petir sehingga terbakar, kemudian datang galodo sehingga terban tak berbekas. Naudzubillah mindzalik. Hal ini cukup mengherankan, sebab dari banyak bencana yang terjadi selalu yang selamat dan berdiri dengan kokoh secara ajaib adalah masjid atau surau. Dari banyak kejadian bencana, seperti tsunami di Aceh, erupsi gunung Semeru, letusan gunung Galunggung, letusan gunung Krakatau, selalu masjid, mushala atau surau yang selamat.

“Biasanya tempat-tempat suci memang selalu dilindungi Tuhan, mungkin karena kesuciannya atau dapat dikatakan tempat berhimpunnya energi-energi positif sehingga energi negatif akan selalu tertolak atau ternetralisasi untuk menyentuhnya.” kata Bagindo Mukhlis, sambil meneguk kopinya.

“Kalau begitu, bagaimana dengan surau Zuber yang luluh lantak oleh galodo, Pak Gindo?” tanggap Ajo Agusto, mahasiswa sastra.

“Artinya, bukan tidak mungkin ada energi negatif ada pada surau itu, seperti energi fasik, munafik dll.,semacam  masjid Dhirar di zaman Nabi” kata Prel Rajo Mangkuto

“Maksud Mamak bagaimana ini, mana mungkin surau punya energi negative,” kata Ajo Agusto.

“Mungkin saja, Ajo,  bukan tidak mungkin surau itu dibangun dengan uang haram, menerima sedekah dari hasil judi, hasil korupsi. Saya dengar dulu surau itu infak dari para politikus,” sahut Prel Rajo Mankuto

“Ya, itu, janganlah campurkan yang haq dengan yang batil, ketika ada yang batil dalam diri kita, di rumah, keluarga, lembaga bahkan masjid, maka yang batil itu akan memanggil-manggil kawan-kawannya,  ya itu, bencana, musibah, penjahat, maling, dll., sudah jamak yang batil akan berkawan dengan batil, haq dengan haq, itulah logikanya maksiat itu mengundang bencana, karena itulah kita selalu membersihkan diri mengeluarkan energi negatif, sholat salah satunya, Karena itu pedagang Minang punya prinsip bila ada dapat uang walau hanya 50 rupiah, yang tidak jelas halal haramnya, jangan dicampurkan dengan harta dagangan, pantang itu, akan hancur semua, itu nila setitik yang berbahaya, itu dungu setitik yang menghancurkan masa depan,” Gaek Mantege menjelaskan.

“Namun tidak semua bencana atau musibah dalam pengertian energi negatif, karena juga berupa bentuk ujian dari Tuhan,“ imbuh Bagindo Mukhlis.

“Benar itu Mamak, saya kan kemarin sempat tinggal di sana, kemudian saya mengajukan diri untuk jadi garin, ditolak mentah-mentah oleh pengurusnya, karena saya bukan kelompok mereka, pengurusnya menganggap surau itu milik mereka, karena kelompok mereka yang gotong royong membangunnya, padahal surau itu dari infak sedekah umat, di mana logikanya; kalau bidan menyatakan setiap anak yang ditolong dibidaninya adalah miliknya, itu gila namanya,” kata Manto Parmato.

“Ada yang tidak beres dengan surau itu nampaknya, surau urang bagak kalau begitu nampaknya, di sini baru paham saya, mengapa umat lumpuh dan mati suri, sebab pusat-pusat spiritual, jantung umat, tempat dan lembaga, organisasi dikuasai disusupi urang bagak, mulai dari surau sampai masjid paling besar, seperti masjid negara, itulah sekarang tempat suci Palestina dikuasai mereka, karena… untuk menguasai dan menghancurkan suatu negara atau bangsa, kuasai atau hancurkan tempat spiritual dan spiritalnya.” kata Gaek Mantege.

“Sudah tiga, atau mungkin lebih para ustaz dipercaruti oleh pengurus  yang jadi urang bagak surau, bahkan pernah akan berkelahi, dan bercarut-carut di atas surau, itu kental energi negatif, toxic itu”

“Pantas surau itu berhantu, ado si Hampa di situ, banyak bertemu dan dihimpit si Hampa, yang menginap di situ, bukankah Manto Parmato pernah dihimpit hantu Si Hampa di sana“ kata Uwan Samri.

“Benar, Uwan” sahut Manto Parmato.

“Tapi bencana pada sisi lain,  merupakan gerakan alam untuk kembali kepada keseimbangan baru, suatu sunnahtullah, namun bencana fisik belum seberapa, yang berbahaya bencana spiritual, putus jalan fisik belum apa-apa, namun yang jadi musibah besar adalah putus jalan spiritual, putus silaturrahmi, putus  hablum minallah, hamblum minannas, naudzubillah, ” kato Gaek Mantege sambil pamit pulang.

Aku jadi teringat dengan apa yang pernah dikatakan Bapakku dulu, seandainya emas yang kita beli itu dari hasil pecaharian yang halal, disimpan di bawah jenjang, insha Allah tidak akan hilang, tapi apabila ada setitik saja yang tidak halal, bercampurnya yang haq dengan batil, walaupun kita simpan di lemari besi, rumah besi, dia  akan “memanggil” maling, akan dibongkar oleh maling. Tapi bagaimana dengan koruptor, orang kafir, munafik dll., yang penuh kemudahan dalam hidup penuh kesenangan dan kaya raya, itu namanya istidraj. Naudzubillah mindzalik, Al-fatihah untuk Bapak.

Setelah itu, aku juga pamit pulang ke rumah. Allhamdulillah akhirnya sampai juga di rumah.

***

Surau Sastra Hamka, 31072024.-

Cepen ini sudah dimuat di harian Singgalang, edisi Minggu, edisi cetak, Hari Minggu Tgl. 11 Agustus 2024 M, Halaman 4, 06 Syafar 1946 H

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *