MANAJEMEN TUKANG BERUK

Oleh Fadlillah Malin Sutan

 

Kalau hidup sekedar hidup, babi di hutan juga hidup, kalau bekerja sekedar berkerja, beruk di rimba juga bekerja, Hamka.

 

Masyarakat wirausahawan Minang mengenal salah satu manajemen yang cukup unik. Mereka menyebutnya manajemen tukang beruk. Hal ini dibicarakan di lapau-lapau Minang. Manajemen ini memang dipraktikkan oleh tukang beruk dalam wirausaha mereka mengelola pemetikan buah kelapa. Mereka merekrut (baca; membeli) tenaga kerja sarjana beruk. Apa memang ada sarjana beruk.  Ini benar, adanya, para beruk muda atau anak beruk disekolahkan  di sekolah beruk di Pariaman (apenscholen). Di sana (Pariaman, Sumatra Barat, Indonesia) ada sekolah tinggi beruk, hal ini cukup unik, mungkin satu-satunya ada sekolah tinggi beruk di Minangkabau (baca: Sumatra Barat), bahkan Indonesia atau dunia.  Dalam catatan J.C. Boelhouwer, seorang komandan militer Belanda, menurut Suryadi (Singgalang, Minggu, 24 Oktober 2010), sekolah beruk di Pariaman sudah ada sejak tahun 1830.

Para beruk yang tamat sekolah tinggi ini masuk dalam pasar kerja untuk memetik buah kelapa. Masuk dalam pasaran kerja ini, maksudnya, bahasa kasarnya; mereka dijual. Mulai dari Pariaman sampai ke Payakumbuh. Ada pasaran kerja beruk, bahasa kasarnya; pasar beruk. Di Minangkabau ada pepatah yang cukup terkenal, yang sesungguhnya, berasal dari tempat pasaran kerja beruk ini. Pepatah itu; “bantuak baruak ndak tajua”, ungkapan itu perumpamaan; ditujukan kepada seseorang yang planga-plongo, termenung panjang. Ungkapan itu memang diambil dari fenomena beruk yang ada di pasar beruk, penggambaran tentang beruk yang termenung, beruk itu sesungguhnya sarjana, sarjana beruk (beruk sudah tamat belajar di sekolah tinggi beruk) yang tidak (belum) laku, tidak (belum) terjual, di pasar kerja beruk. Menurut Suryadi (Singgalang, Minggu, 24 Oktober 2010) ada beberapa ungkapan tentang beruk yang terkenal bagi orang Minangkabau yakni; tukang baruak, garogok baruak, bajapuik jo baruak, batuka baruak jo cigak, [taimbuah sikua karo], sugi sagadang tumbuang baruak, bantuak baruak tampak ulek, bantuak baruak dapek camin, bantuak baruak kanai cirik ayam, induak baruak (istilah untuk kartu joker dalam permainan kartu remi), parangai baruak, serta ungkapan: anak dipangku dicampakan, baruak di rimbo disusukan.

Sarjana beruk yang  direkrut berkerja oleh wirausahawan beruk, bahasa kasarnya, beruk yang dibeli oleh tukang beruk, beruk yang laku terjual, akan bekerja untuk memetik kelapa dari kebun kelapa yang satu ke kebun kelapa yang lain. Tukang beruk atau wirausahawan beruk dalam mengelola usahanya mempunyai metode tersendiri, inilah biasanya yang disebut oleh orang Minang dengan manajemen tukang beruk. Dengan demikian bagaimanakah manajemen tukang beruk sesungguhnya?

Tukang beruk, yang notabene, tidak sekolah atau tidak sarjana, akan memperlakukan beruk sebagai binatang pekerja, walaupun beruk itu adalah sarjana beruk (lulusan sekolah tinggi beruk ternama, dengan predikat lulus Cumlaude di Pariaman, umpamanya). Sederhananya, dalam manajemen tukang beruk, “jariah ndak manantang buliah”, artinya hasil kerja bagaimanapun bagus dan berkualitasnya, namun upah yang didapat sangat tidak seimbang untuk seekor beruk, jangankan akan beruntung, bahkan sadis dan ironis upahnya. Beruk berkerja memetik kelapa berkebun-kebun, turun naik memanjat kelapa, upah yang didapat oleh beruk hanya sebuah atau beberapa pisang dan sepiring makanan. Tidak pernah terjadi upah untuk beruk satu tandan atau dua tandan pisang, sekarung beras atau beberapa karung beras. Ditertawakan orang tukang beruk itu jika melakukannya. Seperti ayam yang payah-payah bertelur, tetapi sapi yang dapat nama, brand, trademark, yakni pada ungkapan “telur mata sapi”.

Fenomena seperti itu yang diambil pelajaran oleh orang Minang tentang manajemen. Orang Minang dalam segala bidang dan aspek memakai prinsip “jariah manantang buliah”, artinya seimbang atau ada laba, untung, hasil yang memadai dari kerja. Maka, sangat pantang bagi orang Minang dalam kerja dan usaha mereka diberlakukan manajemen tukang beruk. Jika manajemen itu berlaku, maka hal itu terjadi karena keterpaksaan hidup, tidak ada jalan lain, terakhir karena kebodohan.

Apakah manajemen tukang beruk itu ada dalam kenyataan kehidupan masyarakat? Jawabannya sangat ada, bahkan manajemen tukang beruk adalah manajemen terkemuka di dunia pada hari ini. Itulah manajemen kapitalis modern. Masyarakat Minang sebenarnya sudah mengenal dengan akrab manajemen kapitalis modern itu, mereka menyebutnya; manajemen tukang beruk. Mengapa manajemen kapitalis modern adalah manajemen tukang beruk, karena prinsip dasar atau hakikat manajemen kapitalis modern adalah ambil keuntungan sebesar-besar antah dengan pengeluaran upah sekecil-kecilnya. Dalam suatu perusahaan modern banyak pekerjanya sarjana-sarjana hebat, akan tetapi pemiliknya kebanyakan tidak bersekolah, tidak sarjana, bahkan konon ada yang berijazah palsu tapi memperkerjakan kayak beruk ribuan para sarjana dan ratusan professor, dan pemilik yang tidak sarjana itu untung berlipat-lipat yang tidak pernah terbayangkan. Manajemen kapitalisme modern memang tidak humanistik, bahkan ekstremnya dikatakan orang anti-humanistik, sangat materialistik dan mekanikal. Pada sisi lain, pada hakikatnya seluruh teori dan metode manajemen modern dengan sains modern atau orang modern, selalu mendasari diri dengan teori darwinisme (berukisme) dan falsafah liberal meterialistik. Walaupun ada yang mendasari dengan humanis, maka humanisnya tetap humanisme materialistik, jadi beruk di dunia modern bukanlah hal yang mencengangkan.

Mereka sarjana yang hebat itu, bekerja tunggang-tunggik, lembur bahkan mengambil waktu istirahat dan liburnya, sementara pemilik dan pemimpinnya hidup bersenang-senang, dengan begoyang kaki santai, uang masuk berlimpah. Dalam dunia modern, banyak orang sekolah tinggi dan jadi sarjana, kemudian mereka berebut (hanya untuk) jadi tenaga kerja, yang hanya jadi perkerja, walaupun berlevel manajer, akan tetapi pemilik perusahaan atau pemimpinnya putus sekolah dan tidak sekolah tinggi, bahkan konon berijazah palsu. Apakah hal ini yang termasuk dikritisi oleh Hamka dengan kalimatnya yang terkenal; kalau hidup sekedar hidup babi di hutan juga hidup, kalau bekerja sekedar berkerja, beruk di rimba juga bekerja. Inilah alasan mengapa orang Minang menyebutnya manajemen tukang beruk. Cukup dengan menggoyang tali dari bawah dan duduk santai, sementara sarjana beruk berpeluh-peluh turun naik memanjat kelapa, menurunkan buah kelapa berkebun-kebun. Inilah jawaban mengapa manajemen modern agak kesulitan dilakukan oleh orang Minang, dan mungkin juga mengapa tidak begitu bertumbuh perusahaan-perusahaan besar serta industri modern di kalangan wirausahawan Minang (baca Sumatra Barat). Benarkah begitu? Wallahu a’lam bissawab.

*Dari point perkuliahan  Manajemen Kesenian FIB Unand

Limau Manis, 08 November 2023.-

Pernah dimuat di situs: https://arkamediadigital.com/index.php/2023/11/08/manajemen-tukang-beruk/

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *